Negara Islam Indonesia



Negara Islam Indonesia (disingkat NII), juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam".

Gerakan ini adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara.
Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits"
Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'an Surah 5. Al-Maidah, ayat 50.

Dua orang tokoh pejuang Islam Jawa Barat itu bertemu dengan hati penuh kuciwa pada awal 1948. Raden Oni Syahroni adalah Panglima Laskar Sabilillah, sedangkan Kalipaksi alias Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dikenal sebagai pendiri dan pemimpin Institut Suffah-yang murid-muridnya menjadi tenaga inti Laskar Sabilillah dan Hizbullah.
Mereka membicarakan isi Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, yang mengharuskan tentara dan laskar bersenjata mundur ke belakang garis Van Mook. Kantong-kantong wilayah berisi pasukan bersenjata di dalam garis itu harus dikosongkan. Ketika itu santer terdengar Divisi Siliwangi yang menjadi kebanggaan rakyat Jawa Barat akan hijrah ke Yogyakarta.
Pengalaman Perjanjian Linggarjati yang tak dipatuhi Belanda mengingatkan mereka untuk tak mudah percaya kepada taktik penjajah. 
Cornelis van Dijk, dalam bukunya, Darul Islam, menulis bahwa para pejuang Islam kecewa terhadap Perjanjian Renville itu. Mereka menganggap Republik dan Tentara Nasional Indonesia tak hanya menunjukkan sikap kompromistis terhadap Belanda, tapi juga membiarkan rakyat Jawa Barat tak terlindungi.
Mudah ditebak hasil pertemuan kedua tokoh itu: Sabilillah-laskar yang awalnya dibentuk oleh Partai Masyumi-dan Hizbullah menolak perintah pengosongan. Anggota Hizbullah dan Sabilillah yang hijrah akan dilucuti senjatanya. Beberapa literatur menulis, tentara resmi yang tidak hengkang juga diwajibkan menyerahkan senjata. Aksi kelompok Hizbullah dan Sabilillah ini memicu ketegangan. Kelompok bersenjata yang menolak dilucuti kerap melawan.
Oni dan Karto juga sepakat segera menggelar konferensi pemimpin umat Islam se-Jawa Barat. Menurut Pinardi, dalam bukunya, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, konferensi itu digelar di Desa Pamedusan, Cisayong, Tasikmalaya, pada Februari 1948.
Konferensi dihadiri 160 perwakilan organisasi Islam. Karto hadir sebagai wakil pengurus besar Masyumi Jawa Barat. Salah satu keputusan konferensi itu adalah semua organisasi Islam-termasuk Masyumi-melebur menjadi Majelis Islam Pusat, dan menunjuk Kartosoewirjo sebagai imam.
Pada Konferensi itu pula tercetus ide pembentukan Negara Islam Indonesia. Salah satu pengusulnya, Komandan Teritorial Sabilillah, Kasman, merujuk pada dua kekuatan besar dunia saat itu. “Kalau mengikuti Rusia, kita akan digempur Amerika. Begitu pula sebaliknya,” kata Kasman. “Karena itu, kita harus mendirikan negara baru, yaitu negara Islam, untuk menyelamatkan negeri ini.”
Namun konferensi belum mengambil keputusan tentang negara Islam. Peserta hanya menyepakati perlunya gerakan perlawanan sementara, berupa pembentukan Tentara Islam Indonesia, dan menunjuk Raden Oni sebagai pemimpin. Pasukan Tentara Islam ini memilih bermarkas di lereng Gunung Cupu, di daerah Gunung Mandaladatar, Jawa Barat.
Pertemuan pimpinan TII
Mengenai pembentukan TII ini, Al-Chaidar dalam bukunya, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, mencatat beberapa hari setelah konferensi ada pertemuan lain untuk mewujudkan bentuk konkret TII. Akhirnya, para pejuang Islam itu tidak hanya membentuk TII, tapi juga sejumlah korps khusus, seperti Barisan Rakyat Islam, Pahlawan Darul Islam (Padi), dan Pasukan Gestapu. Ada pula pembentukan korps polisi dan polisi rahasia Mahdiyin.
Untuk mematangkan rencana pendirian NII, Karto melakukan serangkaian pertemuan dan konferensi lanjutan. Dua bulan setelah konferensi pertama, mereka menggelar Konferensi Cipeundeuy, Bantarujeg, Cirebon. Konferensi itu meminta pemerintah Indonesia membatalkan sejumlah perundingan dengan Belanda. Jika tidak berhasil, pemerintah RI diminta membubarkan diri atau membentuk pemerintah baru.
Konferensi juga memutuskan mengadakan persiapan negara Islam untuk menandingi negara Pasundan bentukan Belanda. Persiapan itu meliputi pembuatan aturan-aturan ala Islam. Setelah di Cipeundeuy, konferensi lain digelar di Cijoho, Kuningan, yang membahas secara mendalam bentuk-bentuk ketatanegaraan. Dalam pertemuan ini terbentuk Dewan Imamah (Dewan Menteri), Dewan Fatwa (Dewan Pertimbangan Agung), dan penyusunan Kanun Azazi atau Undang-Undang Dasar.
Di tengah persiapan pembentukan NII, pada akhir 1948, Ibu Kota Yogyakarta diserang Belanda. Para pemimpin nasional yang berkantor di sana ditawan, termasuk Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Peristiwa ini dimanfaatkan Kartosoewirjo sebagai propaganda tamatnya riwayat republik yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Maka, pada 21 Desember 1948, Kartosoewirjo mengumumkan komando perang suci, perang total melawan penjajah. Dalam kondisi perang itu, Dewan Imamah dan Dewan Fatwa menjadi kekuasaan tertinggi.
Akhirnya, melalui Maklumat Nomor 6, Kartosoewirjo mengumumkan kejatuhan Negara RI dan lahirnya Negara Islam Indonesia. Dia menganggap Jawa Barat sebagai daerah de facto NII, sehingga setiap pasukan dan kekuatan lain-termasuk tentara resmi-yang melewati wilayah ini dianggap melanggar kedaulatan. Mereka harus bergabung dengan TII atau dilucuti. Ketika itulah NII mulai menyerukan jihad fisabilillah.
Pada saat bersamaan, Divisi Siliwangi yang hijrah ke Jawa Tengah telah kembali ke Jawa Barat dengan melakukan long march. Masuknya kembali tentara Siliwangi ke daerah yang dikuasai pasukan TII menimbulkan gesekan, dan mengakibatkan perang segitiga TII-TNI-Belanda. Perang itu baru padam setelah digelarnya Perjanjian Roem-Royen.
Toh, perjanjian ini tak lebih bagus daripada perjanjian sebelumnya. Kartosoewirjo mengecam hasil perjanjian itu, seperti tertuang dalam Pedoman Dharma Bhakti Jilid II. Ia menuding Mohammad Roem, wakil Masyumi yang memimpin perundingan itu, telah menjual negara.
Perjanjian itu dinilainya menimbulkan kekosongan kekuasaan di Indonesia. Dalam kondisi vakum itu, menurut dia, tidak ada kekuasaan dan pemerintahan yang bertanggung jawab. Maka keadaan itu digunakan oleh Kartosoewirjo untuk memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949.
Teks proklamasi NII
Belakangan diketahui, rencana memproklamasikan Negara Islam Indonesia itu bukan yang pertama kali bagi Kartosoewirjo. Ulama Garut masa itu, Kiai Haji Yusuf Tauziri, memberikan pernyataan pernah dua kali diminta Karto memproklamasikan Negara Islam Indonesia. “Namun permintaan itu ditolak Yusuf,” Pinardi menulis.
Melihat proses pembentukan Negara Islam Indonesia itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bahtiar Effendy, menilai Kartosoewirjo tak memiliki landasan ideologi yang kuat. Apalagi mengingat latar belakangnya sebagai anak mantri candu yang berpendidikan Belanda, dan hanya belajar Islam secara otodidak. “Soekarno jauh lebih kuat pengetahuan keislamannya,” kata Bahtiar.
Bahtiar menunjuk kekecewaan Kartosoewirjo terhadap Perjanjian Renville dan perjanjian-perjanjian berikutnya yang dianggap merugikan kepentingan Indonesia sebagai faktor yang lebih menentukan pemberontakannya. Tatkala pemerintah Soekarno-Hatta terdesak karena agresi militer Belanda, Kartosoewirjo memanfaatkan momen itu untuk memproklamasikan NII.
S.M. Kartosoewirjo
Pendapat ini disanggah putra bungsu Kartosoewirjo, Sardjono. Menurut dia, perjuangan ayahnya berlandaskan ideologi Islam yang diperjuangkan sejak ia mulai bergabung dengan Sarekat Islam dengan tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto. Perjanjian Renville hanya momentumnya,” katanya.
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan Selatan.
Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.



Gerakan DI/TII Daud Beureueh
Teuku Daud Beureueh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.

Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. 
Daud Beureuh juga berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.

Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. 
Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.




Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar
Ibnu Hajar
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar.

Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. 
Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.




Gerakan DI/TII Amir fatah
Amir Fatah
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan.

Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam.
Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam.
Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. 
Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.




Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar
Kahar Muzakkar
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya.
Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN).

Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan.

Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. 

Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar dikabarkan tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.








Dari berbagai sumber
Previous
Next Post »